Saturday, March 26, 2011
Diterbitkan Buku “Kelenteng-kelenteng Kuno di Indonesia”
Selain itu buku tersebut juga akan menjadi salah satu sumber informasi yang menarik bagi masyarakat untuk mengetahui peninggalan kelenteng kuno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia menjadi salah satu daya tarik untuk kegiatan wisata religi. Kelenteng kuno tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat Tionghoa sejak ratusan tahun lalu telah memberikan kontribusi terhadap budaya di Indonesia. Dalam menerbitkan buku ini, menurut Asti Kleinsteuber, mendapat dukungan penuh beberapa pihak di antaranya tokoh Marga Huang.
Buku ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin melakukan wisata religi, kata DR. Sapta Nirwandar, Dirjen Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) ketika memberikan sambutan pada acara peluncuran buku tersebut di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Kamis (27/1).
Ketua Perhimpunan INTI Rahman Hakim mengatakan, terbitnya buku Kelenteng-kelenteng Kuno ini diharapkan akan menarik minat wisatawan mancanegara (wisman) khususnya masyarakat Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia untuk berkunjung ke Indonesia. "Kelenteng-kelenteng kuno ini menjadi daya tarik pariwisata Indonesia," kata Rahman.
Masyarakat umum di Indonesia banyak yang tidak memahami perbedaan klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Cina. Sementara itu Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain daripada fungsi spiritual.
Awal dari kerancuan pemahaman klenteng dan vihara dilatarbelakangi peristiwa G30S tahun 1965. Akibat peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah saat itu. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama Sansekerta atau Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan. Dari sinilah kemudian masyarakat sulit membedakan klenteng dengan vihara. Setelah masa Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD).
Sumber:
http://budpar.go.id/
source : http://www.indonesia.travel/id/news/detail/281/diterbitkan-buku-kelenteng-kelenteng-kuno-di-indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Blog Archive
-
▼
2011
(325)
-
▼
March 2011
(231)
-
▼
Mar 26
(24)
- Media Massa : 5 Media Paling Berani di Dunia
- Earth Hour di Indonesia yang Ketiga: 26 Maret 2011...
- Tour de Singkarak 2011 akan Hadir di Bulan Juni
- "Tintin" dan le Royaume de Ganesh Mendekatkan Indo...
- “I La Galigo” akan Pentas di Tempat Kelahirannya, ...
- Here We Go : Bersiaplah, Justin Bieber akan Guncan...
- Visit Makassar 2011: Dari Prosesi Pergantian Penja...
- Bandung Clothing Expo 2011: Pameran Clothing terbe...
- Kemeriahan Axis Jakarta Internasional Java Jazz Fe...
- Farah Quinn Turut Mengenalkan Pariwisata Bengkulu ...
- Iron Maiden Tampil Memukau di Ancol Jakarta
- Asian Art Museum San Francisco Menggelar Pameran B...
- Perairan Komodo adalah Tempat Menyelam Spektakuler...
- Geopark Gunung Api Batur dan Karst Pacitan akan Me...
- Indonesia Menjadi Destinasi Pilihan Konser Interna...
- 215 Foto Pulau Terluar Indonesia Dipamerkan Di Ban...
- Diterbitkan Buku “Kelenteng-kelenteng Kuno di Indo...
- Film Dokumenter Teluk Tomini Laris di India
- Paviliun Indonesia Terbaik di Reiseliv 2011
- 5 Kreteria untuk Branding Pariwisata Indonesia 2011
- Visit Makassar 2011, Ayo ke Makassar!
- Bijak Menggunakan Air
- Melawan Virus dengan Virus
- JENIS TOPI YANG POPULER DI DUNIA.
-
▼
Mar 26
(24)
- ► August 2011 (2)
- ► September 2011 (1)
- ► October 2011 (4)
-
▼
March 2011
(231)
No comments:
Post a Comment