 
                 Pertunjukan tari kolosal Matah Ati akhirnya berlangsung juga di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta  setelah sebelumnya mendulang kesuksesan di Singapura tahun 2010. Tampil  dalam pertunjukan khusus di depan penonton 12 Mei 2011 lalu, Matah Ati  menambatkan kekaguman bagi penonton selama satu setengah jam pertunjukan  yang mengagumkan. Pertunjukan tarian kolosal ini seakan menyajikan  kembali sebagian kecil sejarah Indonesia ke pentas panggung yang  spektakuler.
Logo Istana Mangkunegaran sebagai  tirai panggung menyambut penonton yang mengisi kursi di Teater Jakarta.  Lampu-lampu mulai diredupkan dan sebuah lampu menyorot ke arah seorang  wanita muda yang sedang duduk anggun di tepi pangung melantunkan prolog  cerita. Kemudian, tirai dibentuk seperti trapesium 15 derajat, sangat  menakjubkan.  Sekelompok wanita Mangkunegaran berdiri diiringi kemegahan  musik gamelan, pintu utama kemudian terbuka menampilkan raja dan  keluarga kerajaan, kemudian pementasan sejarah epik ini pun dimulai.
Adegan pertama mengilustrasikan mimpi  dan keinginan Rubiyah, seorang penari muda miskin yang berharap menjadi  bagian keluarga kerajaan. Aura mistis terasa ketika empat wanita muda  bejalan di sekitar panggung  membawa kemenyan dan secara bersamaan  membacakan mantra yang berbeda. Ketika Rubiyah bergerak ke arah depan  panggung, untaian indah bunga melati sepanjang 10 meter ditarik ke  belakang sebagai tanda mimpi dan keinginan yang hilang dan meninggalkan  penonton dengan kekaguman.
Desa Matah yang hidup damai ditunjukkan para penari dan nyayian lagu trasional anak-anak seperti yo pro konco dan cublek-cublek suweng. Penampilan pertama diakhiri kehadiran Raden Mas Siad saat bertemu pertama kali dengan si cantik Rubiyah.
Adegan kedua dimulai saat Raden Mas Said melakukan tapa brata  atau ritual melalui perpaduan gerakan tradisional dan modern. Tiga  orang wanita muda cantik mencoba mengganggu namun tidak berhasil.  Kemudian, Raden Mas Said memasuki sebuah mimpi saat bertemu seorang  wanita yang menarik perhatiannya. Adegan kedua menampilkan tarian Sumpah Pamoring kawula yang berbunyi ” Tiji Tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh” (mati satu mati semua, hidup satu hidup semua) serta Kolonialisme Belanda yang menimbulkan perang saudara di Surakarta.
Dalam adegan ketiga sebuah tarian cambuk  kontemporer unik diperagakan dua tentara pro-Belanda yang melambangkan  kesombongan dan pengaruh kolonial. Tarian memikat ini kemudian mendapat  sambutan tepuk tangan meriah dari penonton.
Adegan keempat menunjukan dimana Raden  Massaid melihat cahaya dari seorang penonton wanita yang tertidur selama  pertunjukan Wayang Kulit. Dia kemudian meninggalkan ikat kepala untuk  wanita muda tersebut dan yakin bahwa dia adalah gadis yang masuk dalam  mimpinya. Pertunjukan wayang kulit tersebut digambarkan dalam  aksiteatrikal spektakuler dan digitalisasi layar.
Adegan kelima banyak diisi adegan lucu  dari empat wanita tua yang menggambarkan petani Desa Matah. Dengan  menggunakan bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Inggris,  mereka menyampaikan pesan yang ingin disampaikan kepada penguasa. Adegan  kelima memperagakan kedatangan Rubiyah ke istana dan pelantikannya  sebagai komandan tentara wanita yang berani dan diberi nama ‘Matah Ati’
Tarian budaya yang mistis dan elegan  ditampilkan pada adegan keenam sebagai sebuah ekspresi jiwa yang bersiap  untuk berperang serta keinginan untuk mati di medan perang.
Puncak perang ditampilkan pada adegan  ketujuh, dimana Raden Mas Said dan Matah Ati sukses memimpin pasukan  mereka meraih kemenangan besar. Akan tetapi, pada saat yang sama  berkabung karena pasukan yang mereka kalahkan adalah saudara dan saudari  mereka sendiri. Adegan yang dilakukan dengan beberapa koreografi  canggih dan spektakuler melibatkan kelompok besar penari sesuai latar  belakang musik gamelan kolosal.
Penutupan tarian ini ada di adegan  kedelapan dimana pesta dan perayaan diadakan sebagai peringatan  kemenangan besar dan pada saat yang sama juga sebagai pemersatu kasih  Raden Mas Said dan Matah Ati melalui pernikahan. Perjalanan melalui  cinta dan perang akhirnya berakhir saat adegan Raden Mas Said dan Matah  Ati terlibat dalam percintaan yang melambangkan awal Dinasti  Mangkunegaran.
Pertunjukan ‘Matah Ati’ berangkat dari konsep ‘Langendriyan’ yang  lahir di Istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro ke IV.  Menyajikan  tarian klasik dalam gaya tari Mangkunegaran serta menggunakan  tembang-tembang Jawa sebagai ekspresi pertunjukan.
Secara keseluruhan pertunjukan  spektakuler ini merupakan salah satu pertunjukan yang membawa penontonya  menemukan kembali sebagian kecil budaya Indonesia yang kaya.
Liputan khusus Indonesia.travel
 
No comments:
Post a Comment