Selepas melewati Tilamuta, pemandangan Pantai Bolihutuo dan Pantai Libuo yang indah terlihat dari dalam mobil yang melaju kencang, seolah mengintip dari sela-sela pepohonan yang berkelebat terlewati. Cukup menghibur dan serasa sebuah janji yang melambungkan harapan saya akan indahnya pemandangan perkampungan laut Suku Bajo di Torosiaje Laut, di ujung perjalanan ini.
Menjelang sore satu demi satu penumpang turun di tujuannya masing-masing, hanya menyisakan tiga orang penumpang, yaitu saya, pemandu saya, Ridwan, dan seorang bapak berumur sekitar separuh baya. Bapak itu mencairkan suasana dengan bertanya ramah kepada saya, “Mau pergi ke mana?”. “Ke Torosiaje Laut”, jawab saya ramah. Kemudian beliau mengatakan sesuatu dalam bahasa daerah Gorontalo kepada sopir, lalu tersenyum memandang saya. Saya yang tidak mengerti apa yang dibicarakan hanya membalas senyum, meski bingung. Tidak lama kemudian bapak itu turun di pinggir jalan, lalu angkutan kembali melaju kencang. Hingga akhirnya dari dalam mobil saya melihat papan bertuliskan “Terminal Popayato” (yang seharusnya menjadi tujuan kami) terlewati, saya pun setengah berteriak (karena suara musiknya sangat keras) mengingatkan si sopir. Sambil tersenyum si sopir menjawab bahwa bapak tadi yang merupakan penumpang langganannya meminta ia untuk mengantar kami langsung ke dermaga yang menuju ke Torosiaje Laut. Saya mengucapkan terima kasih dan ingin sekali rasanya mengucapkan terima kasih ke bapak tadi atas keramahtamahnnya yang sangat membantu kami.
Dermaga yang kami tuju ternyata merupakan dermaga sederhana. Ada satu warung makan sederhana dengan teras berdinding kayu di satu sudut tanah lapang yang ada di situ. Sebentuk bangunan kecil yang berfungsi sebagai loket masuk berada di sisi lainnya dan menjadi seperti pintu masuk menuju ke semacam jalan kecil beralas kayu. Di situlah kami bertemu dengan Jacko, penduduk yang biasa menyambut tamu yang berkunjung ke Torosiaje Laut.
Kami segera meloncat hati-hati berpindah ke perahu Jackson yang saat itu memakai kaos hitam bertuliskan “Ilmu Bajo”. “Tidak sampai setengah jam kita akan sampai di Torosiaje Laut, Kampung Suku Bajo!” serunya bangga. Panasnya menyeberang laut dengan perahu tanpa atap tidak lagi saya hiraukan. Hijau segar daun tanaman bakau dan langit yang terpantul biru di laut membius saya untuk mulai memotret. Saya berkata pada diri saya sendiri, “petualangan yang sebenarnya baru dimulai!”
Lamat-lamat terlihat rumah-rumah berjajar, seolah mengapung di horizon permukaan laut. Semakin perahu mendekat, terlihat rumah-rumah itu seperti meninggi. Akhirnya jelas terlihat dengan gagahnya perkampungan rumah panggung yang berdiri kokoh di atas laut dangkal.
Sebuah “jembatan” yang merupakan gang penghubung antarsisi kampung layaknya gapura kami terobos dari bawahnya, sejumlah warga sedang melintasi di atas jembatan itu tersenyum melihat kami (terutama mungkin saya yang sibuk memotret dengan berdiri di atas perahu kecil dan Jacko yang kerepotan menyeimbangkan perahu). Tata letak kampung ini seperti huruf U besar yang menghadap ke arah laut yang sejatinya ialah Teluk Tomini. Perahu-perahu berlalu lalang silih berganti, ada yang masih menggunakan dayung, ada pula yang sudah menggunakan mesin tempel. Saya takjub. Bersambung.
(Artikel ini juga dimuat dalam majalah National Geographic Traveler-Indonesia Vol. 3, No. 3, 2011).
No comments:
Post a Comment